Entri Populer

Jumat, 10 Juni 2011

Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ? Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki. Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?. Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah. Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui. Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya. Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i. Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul. Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur'an mereka juga berbeda dengan Al-Qur'an kita (Ahlussunnah). Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur'annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan. Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri. Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). 1. Ahlussunnah : Rukun Islam kita ada 5 (lima) a) Syahadatain b) As-Sholah c) As-Shoum d) Az-Zakah e) Al-Haj Syiah : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda: a) As-Sholah b) As-Shoum c) Az-Zakah d) Al-Haj e) Al wilayah 2. Ahlussunnah : Rukun Iman ada 6 (enam) : a) Iman kepada Allah b) Iman kepada Malaikat-malaikat Nya c) Iman kepada Kitab-kitab Nya d) Iman kepada Rasul Nya e) Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat f) Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah. Syiah : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)* a) At-Tauhid b) An Nubuwwah c) Al Imamah d) Al Adlu e) Al Ma’ad 3. Ahlussunnah : Dua kalimat syahadat Syiah : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka. 4. Ahlussunnah : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat. Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan. Syiah : Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka. 5. Ahlussunnah : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah : a) Abu Bakar b) Umar c) Utsman d) Ali Radhiallahu anhum Syiah : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka).


Mengapa Ada Perbedaan Mazhab dan Pendapat Ulama?

Saya dan banyak teman lainnya seringkali merasa aneh dengan perbedaan di kalangan ulama. Seringkali ketika membaca tulisan yang terkait dengan kajian fiqhiyah, kamidapati isinya merupakan penjabaran perbedaan pendapat di kalangan ulama. Bahkan tidak jarang disebutkan ada mazhab A, mazhab B, atau ulama ini dan ulama itu. Masing-masing datang dengan pendapatnya sendiri-sendiri yang nyaris tidak pernah sama.
Mohon maaf kalau seringkali kami bukannya menjadi paham, tapi malah tambah bingung. Mohon pak Ustadz bisa menjelaskan duduk perkaranya. Seringkali banyak hal yang belum terjawab di otak saya. Seperti: Bukankah agama ini satu? Bukankah syariat ini satu? Bukankah kebenaran satu tidak berbilang? Bukankah sumbernya pun satu juga? Yaitu wahyu Allah.
Tapi kenapa terjadi perbedaan sehingga dalam satu masalah ada pendapat lebih dari satu dan tidak satu pendapat antara madzhab sehingga umat Islam lebih mudah mengambil pendapat, karena mereka adalah umat yang satu?
Terkadang ada yang menduga bahwa perbedaan ini menyebabkan kontradiksi dalam syariat atau kontradiksi dalam sumber syariat atau perbedaan akidah, seperti perbedaan aliran-aliran dalam agama selain Islam seperti golongan Kristen Ortodoks, Katolik, Protestan.

jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Perbedaan antara madzhab fiqh dalam Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Khazanah kekayaan syariat yang besar ini adalah kebanggaan dan izzah bagi umatnya. Perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad fiqh, bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah.
Tak pernah kita dengar dalam sejarah Islam, perbedaan fiqh antara madzhab menyeret mereka kepada konflik bersenjata yang mengancam kesatuan umat Islam. Sebab perbedaan mereka dalam masalah parsial yang tidak membahayakan.
Perbedaan dalam masalah akidah sesungguhnya yang dicela dan memecah belah umat Islam serta melemahkan eksistensinya.
Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap rahasia syariat dan memahami illat hukum.
Semua ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena syariat Islam tidak saling bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan terjadi karena keterbatasan dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap harus beramal dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama sebab wahyu sudah terputus.
Namun bagi seorang mujtahid ia mesti beramal dengan hasil ijtihadnya sendiri berdasarkan interpretasinya (dhzan) yang terkuat menurutnya terhadap makna teks syariat. Karena interpretasi ini yang menjadi pemicu dari perbedaan. Rasulullah saw bersabda, ”Jika seorang mujtahid berijtihad, jika benar ia mendapatkan dua pahala dan jika salah dapat satu pahala, ”
Kecuali jika sebuah dalil bersifat qathi’ (pasti) dengan makna sangat jelas baik dari Al-Quran, Sunnah mutawatir atau hadis Ahad Masyhur maka tidak ruang untuk ijtihad.
Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dhzanni (lawan dari qathi) atau yang lafadlnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Arab.

Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.
Contohnya, lafadlquru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al-Baqarah:228). Atau lafadl perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadl nahy; memiliki makna larangan yang haram atau makruh.
Contoh lainnya adalah lafadl yang memiliki kemungkinan dua makna antara umum atau khusus adalah Al-Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam agama” apakah ini informasi memiliki arti larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?
2. Perbedaan Riwayat

Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa, di antaranya:
  • Hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya.
  • Atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan perawi yang kuat.
  • Atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat.
  • Atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis.
  • Atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.
3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum

Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat, istishab, saddu dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.
4. Perbedaan Kaidah Usul Fiqh
Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar", "tambahan terhadap nash quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.
5. Ijtihad dengan Qiyas

Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal (masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas di samping juga ada kesepakatan antara ulama.
6. Pertentangan (kontradiksi) dan Tarjih antar Dalil-dalil

Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.
Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar sunnah baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh penyifatan tindakan Rasulullah saw dalam berpolitik atau memberi fatwah.
Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama – semoga Allah membalas mereka dengan balasan kebaikan – tidak mungkin semuanya merepresentasikan sebagai syariat Allah yang turun kepada Rasulullah saw. Meski demikian kita memiliki kewajiban untuk beramal dengan salah satu dari perbedaan ulama. Yang benar, kebanyakan masalah ijtihadiah dan pendapat yang bersifat dlanniyah (pretensi) dihormati dan disikapi sama.
Perbedaan ini tidak boleh menjadi pemicu kepada ashobiyah (fanatisme golongan), permusuhan, perpecahan yang dibenci Allah antara kaum Muslimin yang disebut Al-Quran sebagai umat bersaudara, yang juga diperintah untuk berpegang teguh dengan tali Allah.
Para sahabat sendiri berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum Allah atau syariat Allah. Namun mereka menyebut, "Ini adalah pendapatku, jika benar ia berasal dari Allah jika salah maka ia berasal dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya darinya (pendapat saya) berlepas diri."
Di antara nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah saw, kepada para pasukannya baik dipimpin langsung atau tidak adalah, "
Jika kalian mengepung sebuah benteng, dan mereka ingin memberlakukan hukum Allah, maka jangan kalian terapkan mereka dengan hukum Allah, namun berlakukan kepada mereka dengan hukummu, karena engkau tidak tahu, apakah engkau tepat dalam menerapkan hukum Allah kepada mereka atau tidak, " (HR Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah)
Ini menegaskan tentang ketetapan ijtihad atau kesalahannya dalam masalah cabang fiqh.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar